Sumber gambar: Jurlislam.com
Abstrak:
Stigma tentang budaya perang di Papua telah lama beredar, baik di media lokal maupun internasional. Artikel ini bertujuan mengkaji apakah praktik-praktik peperangan antar-suku di Papua merupakan bagian dari budaya lokal yang otentik, ataukah hasil konstruksi naratif kolonial yang dimaksudkan untuk melemahkan solidaritas masyarakat adat. Melalui kajian pustaka dan pendekatan historis-antropologis, tulisan ini menguraikan dinamika budaya perang dalam konteks sosial masyarakat Papua.
Pendahuluan:
Papua dikenal sebagai wilayah yang kaya akan keragaman budaya dan adat. Namun, salah satu aspek yang sering muncul dalam representasi eksternal adalah keberadaan budaya perang antar-suku. Pertanyaannya: apakah budaya perang tersebut benar-benar bagian dari tradisi Papua, ataukah ia muncul sebagai konsekuensi dari intervensi kolonial dan konflik modern?
Pembahasan:
1. Narasi Kolonial dan Stigmatisasi “Barbarisme”:
Dalam sejumlah literatur yang ditulis oleh pihak kolonial—bukan oleh penulis atau tokoh pribumi Papua—sering kali digambarkan bahwa Papua memiliki sejarah konflik antarkelompok yang terstruktur. Melalui narasi tersebut, kolonial secara sistematis membentuk citra bahwa masyarakat Papua merupakan kelompok yang liar dan cenderung suka berperang. Stigmatisasi sosial semacam ini dimaksudkan untuk membentuk persepsi negatif yang tertanam secara mendalam, baik di kalangan masyarakat luar maupun di benak orang Papua sendiri.
Pemerintah kolonial Belanda dan Indonesia maupun Misionaris sering menggambarkan masyarakat Papua sebagai "liar" dan "primitif", memperkuat persepsi budaya perang sebagai bentuk kekejaman. Ini berfungsi sebagai pembenaran moral atas kolonisasi. Melalui dokumentasi visual dan laporan tertulis, kolonialisme menciptakan narasi bahwa peperangan adalah bagian dominan dari kehidupan masyarakat Papua.
Sebenarnya, budaya perang bukanlah bagian dari tradisi asli masyarakat Papua. Pada masa lampau, beberapa daerah di Papua mengenal praktik penyelesaian konflik melalui forum musyawarah yang dikenal sebagai “bicara di dalam honai” atau “bicara di atas para-para”. Dalam konteks tersebut, apabila seorang perempuan dari satu suku diambil oleh suku lain, penyelesaiannya dilakukan secara damai melalui dialog atau perundingan antarsuku. Pihak laki-laki akan mengajukan permohonan kepada keluarga perempuan melalui pembicaraan yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan kehormatan.
Namun, sejak masuknya kekuasaan kolonial, citra masyarakat Papua mulai dibentuk secara negatif, seolah-olah orang Papua gemar berperang. Padahal, konstruksi tersebut merupakan bagian dari propaganda kolonial untuk menciptakan justifikasi penguasaan atas tanah Papua. Narasi tersebut juga digunakan untuk memperkuat klaim bahwa kehadiran kolonial akan membawa kedamaian bagi masyarakat Papua. Ironisnya, hingga hari ini, konflik masih terus berlangsung, yang mempertanyakan klaim tersebut dan menunjukkan bahwa akar persoalan sebenarnya jauh lebih kompleks daripada yang digambarkan oleh narasi kolonial.
Masyarakat Papua memiliki tatanan kehidupan sosial yang terstruktur dan berjalan secara optimal. Kepala suku memegang peranan penting dalam mengatur kehidupan sosial masyarakat, menegakkan norma-norma adat, serta memberlakukan hukum adat yang diwariskan secara turun-temurun. Di bawah kepemimpinan kepala suku, masyarakat hidup dalam keteraturan, menjunjung tinggi nilai kebersamaan, dan menjaga keharmonisan antaranggota komunitas. Sejak dahulu, masyarakat Papua telah mengembangkan sistem pertanian yang mandiri; mereka tidak pernah mengalami kelaparan karena hidup berdampingan dengan alam yang melimpah. Hutan menyediakan daging dari hasil buruan, sungai dan laut memberikan ikan, serta ladang menghasilkan sayur dan umbi-umbian. Pendidikan dan kesehatan juga telah dijalankan secara tradisional sebagai bagian dari kearifan lokal. Produksi hasil alam yang dikelola secara kolektif menjadi fondasi ekonomi komunitas mereka.
Namun, kedatangan kolonial membawa narasi modernisasi yang mengaburkan kekayaan sistem hidup masyarakat Papua. Kolonial menggambarkan Papua sebagai wilayah miskin dan terbelakang, sembari mengabaikan bahwa kebutuhan dasar masyarakat telah terpenuhi secara alami. Di kota, masyarakat harus membeli daging dan sayuran; sementara di Papua, semua tersedia di alam. Sayangnya, karena tidak mengikuti standar konsumsi modern seperti membeli pakaian baru setiap saat, masyarakat Papua dianggap miskin. Pandangan ini mencerminkan cara pikir kolonial yang didasarkan pada nilai-nilai kapitalisme dan modernisasi, yang tidak selaras dengan sistem hidup berbasis alam dan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Papua.
Di Papua terdapat tujuh wilayah suku atau wilayah adat yang kerap dinarasikan oleh pihak luar sebagai kelompok yang gemar berperang. Padahal, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar dan lebih merupakan bagian dari propaganda yang dibentuk sejak masa kolonial untuk menstigmatisasi masyarakat adat Papua. Ketujuh wilayah adat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mamta (Mamberamo – Tami)
o Lokasi: Papua bagian utara (termasuk Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Keerom, Sarmi, dan Mamberamo Raya)
o Suku-suku utama: Sentani, Tobati, Skouw, Tami, dan lainnya
2. Saereri
o Lokasi: Papua bagian pesisir utara-tengah (Biak, Yapen, Waropen, Supiori)
o Suku-suku utama: Biak, Numfor, Yapen, Waropen
3. Domberai
o Lokasi: Papua Barat (Manokwari, Bintuni, Pegunungan Arfak, Tambrauw)
o Suku-suku utama: Arfak, Meyah, Moskona, Hatam
4. Bomberai
o Lokasi: Papua bagian barat daya (Fakfak, Kaimana)
o Suku-suku utama: Irarutu, Mbaham Matta, Kuri
5. Ha Anim
o Lokasi: Papua bagian selatan (Merauke, Boven Digoel, Mappi, Asmat)
o Suku-suku utama: Marind, Asmat, Auyu, Wambon
6. La Pago
o Lokasi: Pegunungan tengah bagian timur (Wamena, Tolikara, Yahukimo, Yalimo, Lanny Jaya)
o Suku-suku utama: Dani, Lani, Yali, Nduga
7. Mee Pago
o Lokasi: Pegunungan tengah bagian barat (Paniai, Nabire, Dogiyai, Deiyai)
o Suku-suku utama: Mee, Moni, Ekari, Wolani
2. Pengaruh Modernisasi dan Konflik Horizontal:
Dalam beberapa dekade terakhir, konflik yang terjadi di Papua tak jarang berakar dari persoalan politik, ekonomi, dan intervensi eksternal. Beberapa konflik modern yang dikategorikan sebagai "perang suku" sejatinya merupakan manifestasi dari marginalisasi, perebutan sumber daya, dan politik identitas—bukan semata warisan budaya tradisional.
3. Refleksi Antropologis:
Antropolog seperti Jared Diamond dan Karl Heider telah mengamati praktik perang dalam konteks suku Dani, Biak, Mee, dan Asmat menyimpulkan bahwa peperangan tersebut bukan ekspresi kebencian semata, melainkan bagian dari sistem sosial padahal hal tersebut adalah propaganda kolonial untuk menguasai tanah Papua. Namun demikian, pemaknaan dan praktiknya berubah drastis dalam konteks kontemporer.
Kesimpulan:
Narasi mengenai budaya perang di Papua selama ini lebih banyak dibentuk oleh konstruksi kolonial daripada mencerminkan realitas sosial masyarakat adat Papua yang sesungguhnya. Meskipun dalam beberapa komunitas terdapat praktik konflik antarsuku di masa lalu, hal tersebut dijalankan dengan norma adat yang ketat, dan lebih dimaknai sebagai bagian dari sistem penyelesaian sengketa sosial, bukan sebagai budaya kekerasan. Stigmatisasi Papua sebagai wilayah yang liar dan suka berperang adalah propaganda yang dibentuk oleh kolonialisme untuk melemahkan identitas dan solidaritas masyarakat adat, serta membenarkan intervensi dan penguasaan atas wilayah Papua.
Fakta menunjukkan bahwa masyarakat Papua memiliki sistem sosial yang teratur, ekonomi berbasis alam yang berkelanjutan, serta mekanisme tradisional untuk menjaga keharmonisan sosial. Tuduhan kemiskinan dan keterbelakangan yang dilekatkan kepada orang Papua hanyalah ukuran sempit berdasarkan standar kapitalistik dan modernisasi, yang justru mengabaikan kemandirian dan kekayaan sumber daya lokal yang dimiliki masyarakat Papua. Tujuh wilayah adat di Papua yang kerap dicitrakan sebagai wilayah konflik, sejatinya memiliki struktur adat yang kuat dan nilai-nilai hidup damai yang dijalankan secara turun-temurun. Oleh karena itu, penting untuk mendekonstruksi narasi kolonial yang keliru, dan menggantinya dengan pemahaman yang adil dan kontekstual terhadap realitas sosial budaya masyarakat Papua.
Daftar Pustaka:
- Heider, Karl. The Dugum Dani: A Papuan Culture in the Highlands of West New Guinea.
- Diamond, Jared. The World Until Yesterday: What Can We Learn from Traditional Societies?
- Kamma, Freerk C. Koreri: Messianic Movements in the Biak-Numfor Culture Area