Rombongan mahasiswa Stube HEMAT mengunjungi Museum Sonobudoyo yang terletak di Jl. Pangurakan No.6, Ngupasan, Kec. Gondomanan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (01/07/2025). Sonobudoyo merupakan salah satu museum terbesar dan terlengkap di Yogyakarta. Museum ini memiliki keterkaitan dengan Java Instituut, sebuah pusat studi kebudayaan Jawa, Bali, dan Madura pada masa Kolonial. Museum ini diresmikan pada 6 November 1935 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dengan ditandainya Candrasengkala “Kayu Wingayang Ing Brahmana Budha”1.
Saat ini museum terbagi dalam 2 gedung utama, yaitu Gedung Thomas Karsten dan Gedung Hasta Brata. Gedung Thomas Karsten menyimpan benda/foto dari sudut pandang historis, karena disusun secara temporal mulai dari pra-sejarah hingga kolonial awal. Banyak manuskrip dan kebudayaan Jawa klasik dan beberapa kebudayaan Bali serta Lombok ada di gedung ini. Berbeda dengan Gedung Thomas Karsten, Gedung Hasta Brata menyimpan benda/foto dengan sudut pandang lebih antropologis, dan lebih berfokus pada benda-benda dan kebudayaan Jawa.
Dari barang-barang yang tersimpan di museum ini, pakaian adat Jawa (beskap dan jarik) yang tersimpan di museum ini memiliki sejarah menarik. Dari pemaparan pemandu museum pakaian tersebut menjadi sebuah identitas yang menunjukkan stratifikasi sosial. Salah satu penanda stratifikasi tersebut adalah motif yang digunakan. Baju beskap, motif garis-garis coklat hitam (lurik), menjadi tanda bagi yang memiliki kelas sosial rendah atau kalangan menengah ke bawah. Berbeda dengan motif bagi kalangan atas atau priyayi, yang memiliki desain lebih mewah, bermotif bunga, atau polos, tetapi berbahan dasar sutra atau bahan mahal lainya, dan memiliki warna yang cenderung mengkilap. Sementara itu kain jarik, memiliki motif sendiri untuk setiap kalangan. Batik motif Parang, misalnya, motif parang besar, hanya boleh digunakan oleh sultan, permaisuri, dan putra-putri mereka. Sedangkan motif parang kecil digunakan oleh selir dan putra-putrinya. Kalangan kelas bawah tidak diperkenankan menggunakan batik atau jarik bermotif parang. Kalangan kelas bawah cenderung menggunakan kain jarik bermotif tema naturalis, seperti daun atau bunga.
Museum bukan tempat menyimpan masa lalu, melainkan ruang hidup bagi warisan budaya yang terus berbicara dari masa ke masa. Menyaksikan batik dalam konteks sejarah dan seni, membuka mata kita bahwa setiap motif adalah jejak kebijaksanaan, harapan, dan keindahan. Mari kita hargai, pelajari, dan lestarikan sebagai warisan luhur untuk memperkaya dunia.